Rindu Papa

Rindu Papa - Adik saya, Mirna beserta keluarga kecilnya: suami, dan Ifa - anak perempuan semata wayangnya yang baru berusia 3 tahun, tinggal di Sorowako, kota kecil berjarak ± 700 km di arah timur laut kota Makassar. Sesekali mereka berlibur/cuti ke Makassar, seperti kali ini – di pertengahan Mei 2005. 

Setelah melepas penat sejenak usai bermobil selama 11 jam lebih, seperti biasa saya dan Mirna bertukar cerita tentang balita-ballita kecil kami. Ya, kami sedari kecil memang senang saling berbagi cerita karena hubungan kami sangat akrab, apalagi selisih umur kami hanya 15 bulan. Usia balita-balita kecil kami pun tidak beda jauh, hanya berselisih 11 bulan.

rindu papa

Pada suatu ketika, suami Mirna harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantornya. Kalau biasanya ia pergi kerja pukul setengah tujuh pagi, pulang pukul 17.00 – 17.30 sore, kali ini –beratnya tanggung jawab pekerjaan yang harus ia selesaikan, menyebabkan ia harus pergi pukul setengah enam pagi dan pulang di atas pukul 8 malam, selama seminggu. Pada hari ke-6 ia bahkan terpaksa pulang setelah pukul 10 malam di saat putri mungilnya telah lelap tertidur. Kisah ini terjadi pada hari keenam.

Pukul 8 malam itu, setelah menyelesaikan semua aktifitas rutin, Mirna mengajak Ifa masuk ke kamar tidur. Setelah Ifa berbaring bersama teman-teman bonekanya, Mirna pun mematikan lampu. Dalam kegelapan, Ifa tiba-tiba berkata: “Mama, Papa belum pulang”. Mirna menyahut: “ Iya, Papa masih lama pulang. Ifa bobo duluan”. Putri mungil itu diam sejenak. Kemudian ia menepuk pipi Mirna sambil berkata: “Mama, lapar”. Masih di dalam ruang tidur yang gelap, percakapan ini terjadi:
Mirna: “Ifa mau makan apa ?”. 
Ifa: “Nasi”. 
Mirna: “Mau makan nasi dengan apa ?”. 
Ifa: “Telur rebus”. 
Mirna: “Oke, Mama buatkan. Dihabiskan ya ?”. 
Ifa: “Iya”.

Sambil menunggu telur rebus matang. Mereka berdua nonton TV. Setelah matang, Mirna menyuapi Ifa sambil nonton TV. Surprised, hal yang jarang terjadi: nasi dan telur rebus habis !
“Bobo, ya ?”, Mirna mengajak Ifa. 
Ifa: “Bacakan cerita dulu, Mama”. 
Mirna: “Satu kali saja, ya?”. 
Ifa: “Iya”. 
Mirna pun membacakan buku cerita favorit Ifa sampai selesai, seperti biasa, Ifa menyimak dengan antusias. Kemudian Ifa meminta Mirna membacakan lagi cerita untuknya: “Mama, bacakan lagi ... terakhir!”. Mirna menurutinya. Setelah cerita kedua selesai dibacakan, Ifa mengulangi pintanya sambil menyodorkan buku cerita yang lain: “Terakhir, Mama!”. Karena sudah diserang rasa kantuk, Mirna menjawab pinta itu dengan: “Sudah ya, Ifa. Katanya terakhir. Ayo bobo!”. Ifa terdiam sejenak tetapi kemudian mulut mungilnya mulai mengeluarkan isakan: “Tapi, Papa belum pulang. Ifa ....... rindu ..... “. 

Mirna tersentak, seketika itu ada rasa haru menyelip dalam hatinya, rasa haru yang semakin lama semakin membuncah: “Ya Allah, permata hatiku ini sudah mengerti RINDU ?”. Rupanya ia berusaha mengulur-ngulur waktu tidurnya, berharap Papanya pulang sebelum ia tertidur supaya ia masih bisa minta dibacakan cerita atau bersenda gurau dengan papanya seperti biasa, saat pekerjaan kantor tidak membuat papanya sesibuk ini. Dan harus diakui oleh Mirna, Ifa lebih menyukai cara papanya membacakan cerita ketimbang dirinya. Mirna pun meraih Ifa dalam pelukannya, membelainya dengan lembut, sambil berusaha membujuk supaya ia mau tidur: “Papa masih lama pulang, Nak. Bobo cepat ya supaya insya Allah besok bangun pagi-pagi sekali sebelum Papa berangkat kantor”. Putri mungil itu mengangguk dan mengikuti bujukan Mamanya, masuk ke kamar tidur dan berbaring di ranjangnya. Mirna berbaring di samping putrinya. Masih dengan rasa haru ia berbisik pada dirinya sendiri : “Bahagianya Papa jika tahu betapa Ifa merindukannya ...... “.

Jangankan Mirna yang mengalami langsung cerita ini, saya saja yang hanya mendengarnya diceritakan kembali, juga merasakan rasa haru yang sangat. Seolah hati saya ditetesi air yang sejuk sekali. Benar, statemen yang mengatakan bahwa anak ibarat kertas putih, orangtua yang menulisinya. Kalau dalam dunia teknologi, ibarat harddisk, orangtua yang mem-format-nya dan meng-install program-program aplikasi ke dalamnya. 

Membangun hubungan akrab yang manis, dengan komunikasi yang baik dengan anak sungguh tidak sia-sia. Ifa telah membuktikan, meski usianya masih sangat muda, tulisan/format yang dibuat orangtuanya pada dirinya berhasil menimbulkan satu perasaan manis yang muncul dengan suka rela dalam hatinya: RINDU. Setelah ini, insya Allah tidak akan sulit membuat tulisan-tulisan atau format-format lain ke dalam dirinya yang bisa membuatnya merefleksikannya dengan suka rela.

Memang selayaknya anak tidak diindoktrinasi. Misalnya dengan dalil atau ‘aksioma’: “Anak harus patuh dan taat kepada orangtua, karena orangtua yang melahirkan dan menyekolahkan/mendidik anak, orangtua sudah susah payah mencari uang untuk membiayai anak”. Menurut pendapat saya, dalil atau aksioma itu malah tidak perlu diverbalkan. Yang perlu dilakukan adalah menyikapi anak dengan patut sehingga nantinya anak tahu sendiri bahwa orangtua yang selama ini mengasuhnya memang layak mendapatkan rasa hormat darinya karena telah berlaku bijak/dewasa/terpelajar sehingga patut digugu dan diteladani. Lagipula, dalil atau aksioma itu tidak layak diindoktrinasi kepada anak karena sebenarnya itu adalah kewajiban orangtua.Toh, anak tidak pernah minta dilahirkan. Orangtua yang berbuat ‘sesuatu’ sehingga menyebabkan anak lahir, oleh sebab itu, orangtua (memang) berkewajiban memenuhi segala kebutuhan anak. Iya, kan ?

Makassar, 6 Juni 2005 (Happy birthday Ifa, hope you’ll be a shalihah lady)


Share :

0 Response to "Rindu Papa"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^