Saat Melihat Senyum Mereka

Tulisan ini diposting terjadwal. Mohon maaf bagi kawan-kawan blogger yang sudah meninggalkan jejaknya, saya belum bisa mengunjungi balik karena satu dan lain hal.


Dalam sehari perasaan nyaman dan tak nyaman bergantian melanda diri. Ambil contoh saat merasa lapar dan ulu hati nyeri tentu saja timbul perasaan tak nyaman. Begitu pun dalam berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan anak sendiri.

Rasa tak nyaman menyambangi saya saat si sulung Affiq (11 tahun) sedang datang keras kepalanya, tidak mau belajarlah, tidak mau sikat gigilah, tidak mau mandi, atau tidak berhenti mengerjai kedua adiknya secara bergantian. Atau saat Athifah (6 tahun) sedang super sensitif. Sebentar-sebentar merengek atau menangis karena digoda kakaknya tapi selalu mendekat dengan sang kakak. Ibarat magnet menemukan kutub yang berbeda dengan kutubnya, maunya menempel saja.

Juga saat si bungsu Afyad (3 tahun) bertingkah, meminta sesuatu tapi kalau diberi menolak, diambil marah. Dikasih lagi, malah marah, diambil lagi tambah marah. Benar-benar membuat siapa pun mati gaya menghadapinya. Atau saat maunya dia saja yang pakai laptop, tidak boleh siapa pun menggunakannya kecuali dia. Mau tak mau, rasa tak nyaman menyergap saya. Paling buruk, membuat saya merasa frustrasi menjadi seorang ibu.

Sumber: hbs.wikipedia.org
Tentu saja bukan hal-hal itu saja yang saya hadapi sehari-harinya. Ketiganya secara bergantian memberikan kesejukan dalam hati. Yaitu saat menyaksikan mereka gembira. Ketika senyum merekah di bibir mereka. Atau ketika terdengar gelak pun pingkal tawa mereka.

Saat si sulung menjadi anak penurut. Saat melihatnya mendadak menjadi welas asih kepada kedua adiknya. Saat menjemputnya di sekolah pada suatu sore yang hujan dan menemukannya tengah shalat ashar di mushala seorang diri. Saat ia menunjukkan peningkatan hasil belajar.

Atau saat Athifah memeluk saya dan mengatakan, “I love you, Mama”. Atau saat mata beningnya berbinar menatap saya dan bibir mungilnya mengucap, “Mama cantik pakai baju itu. Saya sayang sama Mama.” Juga saat ia begitu ngemong pada si bungsu, menemaninya bermain dan menghibur Afyad dengan lelucon ala dirinya.

Juga saat si bungsu menyodorkan pipinya saat saya pinta, “Cium Mama, Nak.” Atau saat ia tergelak-gelak ketika keinginannya ditemani bermain dipenuhi. Juga saat ia terlihat begitu gembira bercengkerama bersama kedua kakaknya.

Allah, sungguh indah perasaan yang menyelinap di ruang kalbu saya. Tak terdefinisi apa sebenarnya nama rasa itu. Di atas bahagia, sungguh! Seperti kata orang-orang bahwa anak-anak itu penyejuk hati, itu benar! Inilah perasaan bahagia tertinggi menjadi seorang ibu, setelah rasa bahagia luar biasa ketika berhasil melalui proses menegangkan dalam melahirkan mereka!

Dan atas perasaan indah ini. Hanya rasa syukur yang tak terperi dan hamdalah yang bisa saya ucap. Terimakasih sebesar-besarnya ya Allah, telah mengizinkan saya menjadi ibu bagi ketiga permata hati ini. Izinkan pula saya menjadi kecintaan mereka. Menjadi ibu yang mereka banggakan.

Makassar, Januari 2013

Tulisan ini diikutkan pada sebuah lomba, namun tidak menang

Silakan juga dibaca:



Share :

1 Komentar di "Saat Melihat Senyum Mereka"

  1. Bolak balik perasaan spt itu wajar saja mbak Niar. Yg penting kita tetap bisa mensyukuri pemberian Allah.

    Sekalipun tulisan ini tidak menang lomba, tp mbak Niar memenangkan hati anak2... :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^