Tuhan Itu Sangat Dekat

Judul : KITA SANGAT AKRAB DENGAN TUHAN
Penulis : Guskar Suryatmojo
Penerbit : Smart WR
Tebal : 110 halaman
Ukuran: 21 cm x 14 cm
Tahun terbit: 2014 (Maret)
ISBN : 978-602-1384-02-2


KITA SANGAT AKRAB DENGAN TUHAN, judul buku ini, menggambarkan isinya yang membeberkan bahwa Tuhan itu dekat. Ia terjangkau dan menjangkau. Maka jangan menjauh.

Dalam do’a-do’a kita, kita memanggil Tuhan dengan sebutan “Engkau” atawa “Mu” di belakang kalimat. Beranikah kita memanggil pak Bupati atawa pak RT, misalnya dengan sebutan engkau (Kita Sangat Akrab dengan Tuhan, halaman 29).
Baca selengkapnya

Kenangan Tentang Prof. Dikwan Eisenring

Tidak banyak guru yang berkesan di hati saya. Saya meminta izin kepada kak Astra Ibrahim Eisenring untuk menyimpan foto yang ada gambar ayahnya (yang mengenakan kemeja putih dan berdasi) ini karena beliau adalah guru terfavorit saya. Melihat foto ini, kontan hati saya tergetar, titik air menggenang di pelupuk mata saya, menandakan begitu kuatnya kesan beliau dalam hati saya.

Masih teringat hari-hari kursus dengan beliau. Bagaimana telaten dan tegasnya beliau mengajar kami Bahasa Inggris, bahkan kalau perlu sekaligus mengajari kami Geografi, Bahasa Indonesia, perilaku/etika, dan pelajaran-pelajaran lain.

Banyak hal darinya yang masih berkesan bagi saya. Salah satunya adalah ketika pelajaran sedang berlangsung, cucunya (saya masih ingat namanya Lili) yang waktu itu masih berusia 2 tahun terjatuh. Spontan kami tertawa. Sebagian besar yang kursus waktu itu masih duduk di bangku SMP, beberapa yang lainnya sudah duduk di bangku SMA. Entah kenapa secara internasional, adegan jatuh dianggap lelucon oleh banyak orang, termasuk oleh kami ketika itu.
Baca selengkapnya

Perspektif Itu Khas

Takkan sama memandang dari atas dan dari bawah walau obyek yang dipandangi sama. Seperti juga tak sama yang tampak jika memandang dari arah kiri dan arah kanan. Atau memandang dari dalam rumah dan dari luar rumah.

Bila seseorang yang sudah sampai di puncak ketinggian pendakian, apa yang dilihat dan dialaminya tentu pula tak sama dengan mereka yang masih berada di kaki gunung. Maka wajar jika sang pendaki tertinggi berbagi pengetahuan kepada sang pemula. Tak wajar jika sang pemula membantah atau ngelunjak karena ia belum melihat dan belum mengalami apa yang dilihat dan dialami oleh sang pendaki tertinggi. Ini berlaku kalau tujuan mereka sama, yaitu mendaki gunung yang sama, dari arah yang sama.

Tentu tak bisa diterapkan jikalau seseorang yang menguasai pengetahuan membuat roti mencoba memaksakan pengetahuannya kepada seseorang yang hendak menjadi pembuat jus profesional. Ndak nyambung, kan?
Baca selengkapnya
Tentang Kawan yang Merobek Perolehan Nilai Nolnya

Tentang Kawan yang Merobek Perolehan Nilai Nolnya

Pulang sekolah, Athifah dengan bersemangatnya bercerita tentang kawan sekelasnya yang dihukum oleh ibu guru. Pasalnya Ray (nama samaran) merobek perolehan nilai nolnya di buku pe er. Ibu guru menghukumnya, dengan menambah jam belajar khusus bagi Ray. Ray pun menangis.

“Tidak boleh begitu ya, Mama? Tidak boleh merobek nilai nolnya. Orang kan  harus menerima kenyataan?” kata gadis mungil ini dengan bijak.

Mama nyaris terkikik. Entah dari siapa lagi Athifah mendengar kalimat “harus menerima kenyataan” itu.

Dan ketika Athifah terus memperpanjang pembahasan dengan mengatakan bahwa ia akan menerima kenyataan jika mendapatkan nilai nol, Mama buru-buru menghentikannya.
Baca selengkapnya
Ingin Bisa Menulis? Bakat dan Umur Bukan Masalah

Ingin Bisa Menulis? Bakat dan Umur Bukan Masalah

Sudah ada 450 postingan cerita tentang kepolosan anak-anak di kategori Namanya Juga Anak-Anak di blog ini.

Sebagian besar cerita didominasi oleh cerita tentang Athifah, putri kedua saya yang berusia 7 tahun. Sebagian pembaca mengetahui label Namanya Juga Anak-Anak ini berisi cerita tentang Athifah saja, padahal tidak. Cerita dimulai sejak si sulung Affiq (13 tahun) masih balita (atau malah batita) dan beberapa berisi cerita tentang anak lain (ada juga tentang anak tetangga). Waktu itu saya masih ngeblog di blog lama yang sekarang sudah pensiun.

Oya, saya sebenarnya mulai ngeblog tahun 2006 sampai tahun 2009 di
http://mugniar.blogspot.com/ tapi tersendat-sendat dan akhirnya berhenti. Baru mulai lagi pada bulan Januari 2011. 

Di blog yang sekarang arsip saya mulai dari bulan November 2010. Arsip pada bulan November dan Desember 2010 itu sebenarnya tulisan-tulisan dari blog lama yang dipindahkan ke blog yang sekarang. Sayang kan, soalnya bisa saja hilang begitu saja.
Baca selengkapnya
TRANSFORMASI HATI

TRANSFORMASI HATI

Saat ditempa oleh berbagai hal yang merenggut kepercayaan diri, seseorang bisa terpuruk ke dalam perasaan minder/rendah diri berlebihan. Ke mana-mana kepalanya tertunduk dalam.  Dagunya turun amat rendah dari posisi seharusnya. Kalau bisa, jangan ada yang melihatnya. Ia jadi lupa caranya tersenyum. Ketegangan dan depresi pun berkawan akrab dengannya.

Ia menganggap semua orang hebat. Dirinya hanya sampah. Ia jadi super sensitif. Bila ada yang tertawa, ia merasa ditertawakan. Bila ada yang marah, ia merasa dimarahi. Bahkan tanpa ia bisa jadi sangat keterlaluan, dengan menjadi sarkastis kepada orang lain. Bukan hanya kepada kehidupannya sendiri ia pesimis dan skeptis tetapi juga kepada orang lain. Ia sulit percaya kepada orang lain.

Ketika perbaikan datang perlahan-lahan, ia mulai gembira. Setitik cahaya yang diharapkannya akan muncul terlah terlihat. Perlahan-lahan dagunya mulai terangkat ketika berhadapan dengan banyak orang.
Baca selengkapnya
Tega Sama Ayam

Tega Sama Ayam

Athifah sangat sayang kepada dua ekor anak ayam itu. Setiap hari dia menyempatkan diri bercengkrama bersama anak-anak ayam yang diakui sebagai anak ayamnya.

Mulanya anak-anak ayam di rumah berjumlah lima ekor. Seleksi alam membuatnya mati satu per satu hingga tinggal tersisa dua ekor. Ato’ (kakek, dari bahasa Bugis: lato’) yang membelinya, dari penjual anak ayam yang tega mencelupkan anak-anak ayam itu ke dalam cat warna-warni.

Sepertinya warna-warni menyolok itu yang pada awalnya membuat Athifah jatuh hati pada anak-anak ayamnya. Kini, kesibukan nona mungil ini bertambah. Setiap hari ia merasa harus “menggendong” anak-anak ayam itu. Ia bahkan mencoba berbagai “gaya”. Misalnya dengan setengah menggantung mereka dengan posisi kepala berada di bawah.

Kalau dikatakan kepadanya bahwa anak-anak ayam itu kelak akan dipotong, Athifah menolak keras. “Tidak boleh!!!” serunya.
Baca selengkapnya