Antara Hakku dan Haknya

Hari kedua, menuju  Blogilicious Fun Makassar.
            Setelah bergegas untuk ‘urusan pagi-pagi’ dalam rumah, saya bersiap-siap berangkat. Sudah lewat dari pukul 08.30 saat saya selesai berpakaian lengkap. Saya mulai panik, takut terlambat menghadiri ajang ini. Materi-materi kemarin begitu memukau otak saya. Saya tak ingin ketinggalan - separagraf pun – materi hari kedua ini.
            Saat naik di atas motor, saya menyadari ada yang kelupaan. “Tasnya mana?” tanya saya pada suami. Suami saya menjawab, “Wah, ada di dalam, dekat kursi Athifah”. Saya turun, dan dengan setengah berlari, masuk ke dalam rumah. Saya mendapat ransel berat itu sedang duduk santai di lantai. Setengah berlari, saya menggendongnya keluar rumah. Memberikannya kepada suami saya dan siap-siap duduk di boncengan.
            Suami saya bertanya, “HP, mana?”. Saya balik bertanya, “Lho, memangnya ditaruh di mana?”. Suami saya menjawab, “Ada sama Affiq, dia main HP tadi”. Saya merasa malas kalau harus setengah berlari lagi masuk ke dalam rumah. Saya tidak mau terlambat. Saya malah berkata, “Memangnya sekarang ini perlu HP-kah? Tidak usah dulu. Biar saja HP-nya ketinggalan!”. Jarum jam terus berdetak memajukan waktu. Suami saya bilang, “Ya sudah, kalau dianggap tidak perlu. Tidak usah dibawa”.
            Sepanjang jalan, saya merasa agak tidak enak. Rasanya ada yang mengganjal karena tadi menolak permintaan suami mengambilkan HP-nya yang ketinggalan. Dia berhak meminta HP-nya. Tetapi saya merasa berhak menolaknya karena saya berhak hadir di tempat acara tepat waktu, dan dia berkewajiban mengantar saya. Lagi pula setelah mengantar saya, ia hanya mampir sebentar di rumah sakit lalu pulang kembali ke rumah. Rasanya ia tidak memerlukan HP.
            Ah, sudahlah. Hak setiap orang kan dibatasi oleh hak orang lain. Lagi pula pada dasarnya tidak masalah bagi suami saya tidak membawa HP. Tapi rasa bersalah itu koq ngekor terus ya? Yah ... daripada sama sekali merasa tidak bersalah? Setidaknya saya bisa meneliti kembali, adakah hak suami yang seharusnya tertunaikan saat itu yang hukumnya wajib saya jalankan, yang saya abaikan? Hmm .. rasanya tidak. Malah kebutuhan saya untuk datang tepat waktu yang lebih besar dari itu. Iya kan?
Makassar, 26 Mei 2011


Share :

0 Response to "Antara Hakku dan Haknya"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^