Ujian Kesabaran yang Sesungguhnya

Seorang bijak berkata, “Jangan berkeluarga dulu kalau belum berani susah!” Saya sependapat. Menurut saya, kehidupan berkeluarga adalah ujian kesabaran yang sesungguhnya. Ada banyak medan sulit di dalamnya. Mulai dari proses penyesuaian diri antarpasangan, hingga dalam mengasuh anak. Ujian kesabaran ini sering sekali menjadi sangat sulit karena di dalamnya ada pertempuran ego antara 2 manusia berlawanan jenis yang (katanya/biasanya/berusaha) saling mencintai.


Tahun ini, dua belas tahun sudah usia pernikahan saya. Sembilan tahun terakhir, saya dan suami tinggal dengan orangtua saya. Rumah orangtua saya cukup besar sementara hanya saya yang tinggal satu kota dengan mereka. Adik-adik saya tinggal di kota lain. Selama sembilan tahun ini, Anda boleh bertanya kepada kedua orangtua saya, apakah pernah mendengar saya bertengkar dengan suami saya. 



Saya jamin mereka akan mengatakan “Tidak”. Apakah kami tidak pernah berselisih? Ow .. tidak mungkin. Mana ada rumah tangga yang tidak pernah berselisih? Mungkin orang mengira masalah yang mengusik rumahtangga kami adalah masalah ringan? Ow .. tidak. Ada juga masalah besar. Namun masalah-masalah itu alhamdulillah bisa teratasi dengan indah karena akhirnya hanya menjadi masalah kecil. Apa masalahnya? Wah ... saya tidak bisa menceritakannya karena masalah yang sudah ‘mengecil’ dan diceritakan ke mana-mana akan membuatnya menjadi besar. Besar-kecil-nya masalah kan bergantung kepada bagaimana cara kita menyikapi masalahnya?

Kami berasal dari latar belakang yang berbeda. Perbedaan di antara kami seringkali laksana bumi dan langit. Tetapi jika menemui perselisihan, kami mengusahakan orangtua kami tidak tahu. Kalau bisa, anak-anak pun tidak perlu tahu. Apakah ini tanda bahwa saya adalah seorang yang sabar? Hmmm ... mudah-mudahan ya. Tapi saya sendiri tidak berani mengatakan saya sabar, saya lebih suka mengatakan saya berusaha bersabar. Berusaha menghadapi segala masalah dengan bijak, sebagaimana seharusnya manusia dewasa.

Kehidupan berkeluarga adalah belantara hidup yang sesungguhnya. Selain ada ujian menaklukkan ego dalam menghadapi pasangan, ada pula terjangan badai yang menuntut kesamaan visi dan misi dengan pasangan sehingga bisa teratasi. Juga ada ujian kesabaran yang sesungguhnya yaitu dalam mengasuh anak. Jika menghadapi suami kesabaran masih sebisa mungkin diusahakan, dalam menghadapi anak-anak saya merasakan ujian kesabaran yang jauh lebih besar. Kepada anak-anak yang lahir dari rahim saya, kadang-kadang membuat saya berlaku egois karena perasaan superior.

Tentang pemberian ASI misalnya. Karena mengetahui betapa besar manfaat ASI bagi bayi, saya berusaha memberikannya kepada ketiga buah hati saya. Menyusui bukan hal yang mudah, tetapi sebenarnya bukan juga merupakan hal yang sulit. Masa menyusui adalah masa hampir dua puluh empat jam menyediakan waktu khusus bagi si kecil.

Menyusui adalah perjuangan kesabaran, mengalahkan ego kala tidur di malam buta. Kala sibuk masak, kala asyik nonton TV, kala menulis mengejar tenggat waktu, kala hendak pergi belanja bulanan, kala terima telepon, dan ‘kala-kala’ lain. Banyak hal di ‘kala-kala’ itu yang harus ‘mengalah’ (tertunda atau bahkan batal) karena buah hati harus segera disusui.

Pengalaman menyusui ketiga buah hati saya tak ada yang sama persis. Yang sama adalah ‘perjuangan kesabaran’ dan nikmat membangun ikatan hati kala mendekap mereka saat menyusui sambil menyelami kedalaman bening bola mata mereka.

Dalam perjuangan kesabaran itu ada tangis yang tak terbendung karena air susu tiba-tiba mampet karena suatu hal, ada detik demi detik ragam usaha membunuh kejenuhan, juga ada proses multi tasking. Saya pernah menyusui si kecil sambil menemani belajar si sulung, sekaligus memijat kaki si tengah.

Sehari-harinya, saya harus menghadapi tiga orang anak yang memiliki kemauan berbeda, karakter berbeda, dan kebutuhan/kepentingan berbeda. Belum lagi seabreg pekerjaan rumah yang tak mengenal kompromi, harus diselesaikan  saat itu juga yang jika ditunda akan menambah macam pekerjaan rumah yang harus diselesaikan keesokan harinya.

Sulit? Tidak!
Mudah? Tidak juga!
Sabar? Saya tidak berani mengatakan saya orang yang sabar.
Yang jelas, saya berusaha bersabar.

Ini hanya secuil kisah perjuangan kesabaran dalam perjalanan rumahtangga saya. Masih panjang jalan ke depan yang pastinya butuh perjuangan kesabaran juga.

Dan untuk Anda, para lajang yang berniat berkeluarga ...
Siapkah Anda menukar kenyamanan ego Anda demi perjuangan kesabaran seumur hidup?
Jika belum siap, jangan menikah dulu. Pikir panjang lagi.
Karena perjuangan kesabaran itu suatu niscaya dalam kehidupan berkeluarga!

Makassar, 4 September 2011


Share :

0 Response to "Ujian Kesabaran yang Sesungguhnya"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^