Bagai Dua Kutub Magnet yang Tarik-Menarik

Bagai Dua Kutub Magnet yang Tarik-Menarik - “Ma, Saya juga mau punya blog. Bikinkan Saya blog.” Kalimat ini kerap diucapkan Affiq (10 tahun) ketika melihat saya sibuk dengan blog saya di depan komputer. Bukan hanya kepada saya, ia juga kerap meminta kepada papanya. Karena didesak terus, saya pun membuatkannya melalui blog saya (Blogger/Blogspot memungkinkan penggunanya memiliki beberapa blog dari satu akun). Saya berusaha menyembunyikan password-nya supaya Affiq tidak bisa leluasa menggunakannya, juga supaya saya bisa mengontrolnya memasukkan tulisan.

Saya pernah kecolongan, ia memasukkan tulisan berisi ‘bicara sembarang’ ke blog milik saya. Waktu itu dashboard Blogger saya yang sedang terbuka, saya tinggalkan sebentar ke ruang dalam untuk suatu keperluan. Secepat kilat ia menggantikan posisi saya di depan komputer, mengetik, lalu mempublikasikan tulisannya. Untungnya cepat saya ketahui jadi secepatnya bisa saya hapus. Seandainya ada yang melihatnya, waduh alamat hancur reputasi saya di dunia blogging.

Dua kutub magnet


Saya masih merahasikan password blog yang saya buatkan kepada Affiq ketika tiba-tiba pada suatu hari ia berkata, “Ma, Saya sudah isi blogku.” Saya bingung, “Lho, passwordnya kan Kamu tidak tahu? Bagaimana bisa?” Ia pun memamerkan sebuah blog http://fiqsalabim.blogspot.com/ yang berisi tulisan-tulisannya kepada saya. Waduh, ternyata diam-diam ia sudah membuat sendiri blog pribadinya, lengkap dengan widget-nya! Rupanya jika sesekali saya atau papanya meninggalkan komputer tanpa mematikan modem, ia menggantikan ‘kedudukan’ kami dan membuat blog itu, mulai dari membuat alamat e-mail hingga membuat akun blog sampai mengunggah tulisan! Ternyata diam-diam ia mempelajari sendiri semua itu dan berhasil mempraktekkannya. Lagi-lagi kecolongan ...
Kami hanya bisa tersenyum tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Kalau sudah begini, mau tak mau ia harus didukung supaya bisa memanfaatkan dunia blogging dengan baik dan mengasah keterampilannya berkreativitas. Ia mengisi blognya dengan tulisan-tulisannya yang diketiknya di Word kemudian diunggah melalui Blogger. Ia juga membuat gambar-gambar beragam mimik wajah yang dibuatnya dengan Paint. Sesekali saya tautkan link blog Affiq di status Fesbuk saya, memperkenalkan karyanya kepada kawan-kawan dunia maya saya. Total tayangan laman (page views) blognya pun meningkat secara lebih signifikan. Suatu kali Affiq memperlihatkan kenaikan yang cukup besar dari total tayangan laman blognya. Saya berdecak kagum, “Waah nambah banyak ya. Bagaimana bisa?” Ia tersenyum bangga sembari berkata, “Saya klik banyak-banyak.” Kontan saya tertawa geli mendengarnya.
Salah satu efek samping promosi blog Affiq di status Fesbuk saya adalah, ia memiliki tambahan beberapa ‘pengikut’ (folower) lagi setelah saya. Beberapa kawan saya di grup IIDN Makassar secara spontan mendukungnya, dengan sukarela mereka mendaftar sebagai pengikut Affiq. Betapa girangnya Affiq melihat pertambahan pengikutnya, ia makin bersemangat ngeblog. Sebagai ‘ucapan’ terimakasih, saya mengajarinya cara menjadi pengikut di blog kawan-kawan saya. Dengan bersemangat, ia mencari blog-blog lain untuk diikutinya.
Affiq seorang komputer mania. Ibarat udara, komputer adalah nafasnya. Sejak usia 11 bulan ia sudah bisa konsentrasi di depan komputer selama sejam, padahal pada dasarnya ia anak yang super aktif yang jarang bisa konsentrasi cukup lama menghadapai sesuatu. Ternyata komputer merupakan pengecualian. Ia dan komputer laksana memiliki 2 buah magnet beda kutub yang senantiasa saling tarik. Usia 3 tahun, secara otodidak ia sudah bisa membuat sendiri file presentasi menggunakan Power Point. Ia membuat file berisi foto-foto kami – papanya, saya, kakek-neneknya, dan fotonya sendiri beserta tulisan “PAPA”, “MAMA”, “ATO” (sapaannya kepada kakeknya. ‘Ato’ berasal dari kata ‘lato’ yang dalam bahasa Bugis berarti ‘kakek’), “OMA” (sapaannya kepada neneknya yang berasal dari Gorontalo), dan “AFFIQ”. File itu lengkap dengan tampilan gerakan pada tulisan dan gambar, dengan pilihan template yang pas.
Beberapa waktu yang lalu ia pernah mendesak minta dibuatkan akun Fesbuk. Kami tak mengizinkan. Lha usianya baru sepuluh tahun sementara menurut suami saya usia minimal yang disyaratkan untuk bukan akun Fesbuk adalah tiga belas tahun. Sesekali ia mencoba membujuk saya atau papanya, “Bagaimana kalau dua tahun lagi Saya punya Fesbuk?” Saya menukas, “Tidak bisa dong Nak, aturannya memang begitu!” Maksud kami baik, kami mau mengajari Affiq supaya taat menjalankan aturan. Meski banyak orang yang ‘mencuri’ umur supaya dapat mendaftarkan anak mereka menjadi fesbuker (karena kecil kemungkinan hal ini ketahuan oleh pihak admin Fesbuk), kami tak mau melakukan itu karena tak ada urgensinya bagi Affiq memiliki akun Fesbuk saat ini justru hal tidak baiklah yang pasti diajarkan padanya yaitu bahwa ‘melanggar aturan meski tak ada sanksi nyata itu tak apa’. Bukan hal yang terpuji ‘kan?
Walaupun masih lama baru bisa buka akun Fesbuk, ia sudah menimbang-nimbang tampilan seperti apa yang ia harapkan untuk laman Fesbuk-nya. Kepada papa yang sedang memelototi laman Fesbuk di layar komputer, ia berkata: “Saya tidak mau ada yang seperti ini nanti kalau Saya punya Fesbuk!” katanya, seraya menunjuk sisi sebelah kanan yang menampilkan deretan teman Fesbuk papa yang sedang online.
Saat melihat ada pemberitahuan baru di akun Fesbuk saya, ia merasa harus memberitahu saya, “Mama, ada pemberitahuan baru.” Saat ada permintaan pertemanan, ia pun merasa harus mengabari, “Mama, ada yang meminta berteman. Saya klik ya?” Padahal saya sudah lebih dulu mengetahuinya. Fesbuk begitu memesona baginya, saat kami sedang asyik di layar komputer memelototi akun Fesbuk kami, ia selalu antusias memperhatikan sekaligus mempelajari. Terkadang menyebalkan juga, karena dia terlalu sering mengambil posisi bagai pengawal dengan berdiri di samping kami sambil memperhatikan dengan seksama apapun yang sedang kami lakukan. Entah hendak diapakannya akun Fesbuknya jika ia kami bolehkan memilikinya sekarang sementara kawan sekelasnya hanya satu orang yang memiliki akun Fesbuk. Selain itu, kawan-kawannya di luar sekolah tak ada yang memiliki akun Fesbuk!
Suatu ketika, seseorang mengabari kepada saya bahwa usia minimum untuk menjadi seorang fesbuker adalah tujuh belas tahun, bukannya tiga belas tahun. Saya mengujinya dengan cara mencoba membuat akun fiktif seseorang yang berusia tiga belas tahun. Ternyata admin Fesbuk menolaknya. Wah, sepertinya memang usia minimalnya harus tujuh  belas tahun. Saat hal itu saya kabari pada Affiq, ia merengut dan mengomel, “Kenapa lama sekali? Bosan! Saya bosan menunggu tujuh tahun lagi!” Ia pun mengambil gerakan membelakangi saya, ngambek.
Ia juga masih berangan-angan membuat sebuah akun e-mail di Yahoo padahal ia sudah punya di Gmail. Saat saya mengirim tulisan ke VLOG-nya VIVANews, Affiq memperhatikan dengan antusias dan mengatakan keinginannya menjadi anggota VLOG. Ketika melihat saya mengunggah tulisan di akun Kompasiana, ia menyatakan keinginannya menjadi seorang kompasianer. Saat ia melihat saya sedang mempelajari Twitter, ia pun memperllihatkan minatnya. Terakhir, ia membuat satu lagi blog pribadinya di Blogspot. Ck ck ck ... saya saja hanya sanggup mengelola satu alamat blog, sementara dia mencoba membuat satu lagi?
Melakukan instalasi software adalah hal yang biasa bagi Affiq. Ia sudah bisa melakukannya sejak balita. Tanpa diajari, ia mengetahui file mana yang harus diklik untuk meng-install sebuah software game. Bahkan jika folder yang memuat master dari software itu disembunyikan di ‘pedalaman’ ruang hardisk sekali pun, ia bisa menemukannya. Sekarang, ia mencari sendiri di internet melalui Google, installer yang dikehendakinya. Berulang kali harus dijelaskan kepadanya bahwa hal seperti itu dilakukan harus sepengetahuan kami, ia tak boleh sekehendak hatinya melakukan itu (karena akan memakan ruang hardisk, mengganggu kerja komputer, dan dapat mendatangkan virus).
Saat giliran sang adik - Athifah bermain komputer, dalam hitungan menit saja posisi Athifah sudah terganti olehnya, entah bagaimana caranya. Sering kali Athifah mengadukan sang kakak kepada kami. Setelah kami menegur Affiq yang kemudian dengan berat hati meninggalkan posisi strategis di depan komputer, Athifah kembali bermain. Namun seperti yang telah puluhan kali terjadi, setelah itu Affiq kembali berada di posisi strategis menggantikan Athifah. Adegan yang sama pun berulang: menegur Affiq, Athifah kembali bermain komputer, posisinya direbut kembali oleh Affiq, begitu seterusnya hingga berkali-kali. Pokoknya jika sedang giliran menggunakan komputer, jangan sekali-kali tinggalkan tempat duduk karena gaya tarik-menarik antara Affiq dan komputer akan segera bekerja, membuat Affiq sesegera mungkin menempelkan jarinya di keyboard!
Seringkali, saat baru melek di pagi hari yang diucapkannya pertama kali adalah, “Ma, main komputer”. Begitu pun di malam hari, selalu saja ada usahanya untuk bermesraan dengan komputer. Entah sudah berapa kali komputer rusak karena ulahnya, entah sudah berapa puluh kali setting komputer kacau diubahnya. Ia pernah membuat papanya menahan nafas karena mencari file-file kerja yang tak kunjung ketemu. Belakangan ketahuan file-file itu terhapus karena ulah Affiq yang senang sekali menjelajahi seantero ruang hardisk. Namun itu tidak berarti kami boleh menghentikan pembelajaran Affiq melalui komputer, minatnya yang luar biasa terhadap komputer tidak boleh kami cerabut seenaknya karena kesalahan-kesalahan itu. File-file yang hilang tak bisa kembali lagi tetapi masih bisa diusahakan dibuat kembali meski dengan memeras keringat ekstra keras. Ia tetap boleh menggunakan komputer lagi setelah ditegur, diberi peringatan, atau dihukum, tergantung dari kadar kesalahannya.
Lebih ringan baginya dihukum dengan tidak diberi uang jajan selama berminggu-minggu sekalipun. Asal jangan dihukum tidak boleh menggunakan komputer, ia bakal uring-uringan karena dunianya seakan timpang. Ini menjadi pilihan bagi kami dalam menetapkan hukuman kepada Affiq. Jika kesalahan yang dilakukannya besar, hukumannya bisa beberapa hari hingga satu atau dua minggu larangan bermain komputer.
Melalui si sulung Affiq saya banyak belajar tentang pengasuhan anak. Melaluinya saya yakin bahwa mengasuh anak adalah sebuah seni: seni bermain layangan. Ibarat bermain layangan, saya harus tahu kapan mengulurnya dan membiarkannya bergerak-gerak dimainkan angin sekehendak sang angin membawanya. Begitu pun dalam menyikapi gaya tarik-menariknya dengan komputer yang sering kali membuat kami sangat kewalahan. Itu pun sebuah seni.
Makassar, 24 September 2011


Share :

0 Response to "Bagai Dua Kutub Magnet yang Tarik-Menarik"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^