Potensi Ancaman: Makin Banyak Kaum Muda AS Tolak Ajaran Agama


Anak-anak ini diajar tampil untuk baca do'a. Sebuah
program pendidikan usia dini di tempat sederhana
Bergidik saya membaca artikel VOA yang berjudul Makin Banyak Kaum Muda AS Tolak Ajaran Agama Tradisional yang tayang pada hari Senin 16 Juli 2012.

Berikut kutipannya:
Jajak pendapat oleh Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs pada Universitas Georgetown mendapati  bahwa banyak pemuda itu meninggalkan agama yang mereka anut sejak kecil, umumnya memilih untuk tidak menganut agama tertentu. Sekitar seperempat malah tidak memeluk agama apapun.

Masih dalam artikel tersebut: Abigail Clauhs, mahasiswi jurusan agama pada Universitas Boston pun mengamini hal ini sebagai gejala umum di kampusnya. Wuiiih seram ya.

Agama = Tidak Kacau

Saya pribadi bersyukur, memiliki agama yang saya yakini tepat. Begitu banyak ombak kehidupan yang bisa saya lalui meski dengan tertatih-tatih karena bekal agama yang saya miliki. Beruntung saya tidak tercebur ke dalam ganasnya samudera kehidupan dan disorak-sorai setan pun iblis – laknatullah.


Saya pernah melalui guncangan yang amat dahsyat yang nyaris membuat kewarasan saya terganggu. Alhamdulillah, guncangan itu mereda setelah saya duduk dan membaca lengkap surah al-Baqarah dengan takzim hingga 3 jam lamanya. Saya pernah menyaksikan keganasan ilmu hitam. Bersyukur Allah menolong dengan membuktikan betapa ayat-ayat-Nya yang dibaca dengan penuh peresapan dan pengharapan bisa menolong di saat sulit. Pun bertahan pada kekuatan keyakinan bisa menghantar pada ujung ujian.

Saya berulang kali menjalani persoalan hidup di luar logika, namun alhamdulillah keyakinan yang berusaha saya genggam masih menjaga saya dalam ridha-Nya. Saya pernah menyaksikan anak-anak sakit atau bermasalah dan ketika saya mendampingi mereka sembari membacakan ayat-ayat suci-Nya, penyakit/masalah mereka perlahan melenyap.

Ini menambah keyakinan saya: masalah-masalah di luar logika saja bisa terjalani, apalagi masalah yang logis?

Agama saya adalah warisan dari orangtua. Seperti orang Indonesia kebanyakan, pada zaman saya kecil, agama merupakan hal yang “sekadarnya”, berbeda dengan sekarang di mana makin banyak orang yang memiliki pengetahuan agama yang bagus dan ada banyak tempat untuk belajar ilmu agama. Dulu, di tahun 1980-an tak demikian.

Seiring berjalannya waktu, saya tiba pada pencarian jati diri dan peneguhan nilai-nilai moral yang saya anut. Makin dalam pencarian saya, makin saya yakin bahwa agama tradisional (meminjam istilah di artikel VOA itu) yang saya pegang bukan hanya mengajarkan ritual fisik tetapi juga pedoman hidup. Bukan hanya mengajarkan redaksi do’a memohon keselamatan dunia-akhirat, tetapi juga menyediakan cara-caranya. Juga menyediakan resep-resep untuk bertahan di kondisi yang paling krisis sekali pun.

Contoh-contoh kehidupan orang saleh zaman dulu pun banyak. Mereka semua membuktikan kedahsyatan berpegang kepada keyakinan. Sebut saja kisah nabi Ayyub (antara lain ada dalam al-Qur’an an-Nisa: 163 dan al-Anbiya’: 83-84) yang diuji sakit dalam waktu lama hingga dijauhi warga sekitar, dari semula kaya raya hingga tak berharta dan kehilangan anak, hanya seorang istri yang masih ikhlas merawatnya. Istrinya sampai harus menjual potongan rambutnya untuk mencari uang. Dengan kekuatan kesabaran dan keyakinannya, Sang Maha Pencipta pun menyembuhkannya dan mengembalikan hartanya[i].

Di sekeliling kita pun masih banyak kisah orang-orang yang berhasil melalui ranjau-ranjau dalam hidupnya. Saya menyaksikan seorang bapak yang benar-benar menyandarkan hidupnya kepada Sang Pemilik Hidup. Sehari-harinya ia banyak menolong orang yang sakit dan kesulitan, pendapatan tetapnya tak ada tetapi kasih sayang Allah selalu berlimpah kepadanya. Ada saja jalan rezekinya. Bahkan anak-anaknya bisa sarjana dan telah sukses meniti hidup masing-masing. Sungguh, bila ditilik dengan akal sehat, seolah tak mungkin ia meraih semua yang ia peroleh sekarang. Tetapi keyakinan dan keteguhannya dalam menjalankan keyakinan yang tak pernah susut bahkan terus menggebu benar-benar menolongnya menghadapi arus kehidupan dunia yang penuh godaan ini.

Anak-anak yang tamat program baca al-Qur'an diberikan pernghargaan.
Sebuah motivasi yang berharga bagi kehidupan beragama mereka.


Potensi Ancaman

Bagian lain artikel tersebut mengungkapkan:

Ia menambahkan, "Salah satu hal yang kami dapati dalam laporan ini adalah para pemuda di negara ini – berusia 18 sampai 24 tahun - benar-benar ingin mengubah wajah agama di negara ini."

"Ada banyak pergeseran, dan orang cenderung untuk tidak berkomitmen pada seperangkat doktrin atau dogma yang ketat, meskipun mereka mungkin masih percaya Tuhan," ujarnya lagi.

Wajah agama di Amerika telah lama tampak seperti itu. Tetapi, menurut Jones, kajian Georgetown itu menunjukkan para pemuda itu menolak agama yang tradisional dan lebih menyukai kehidupan spiritual yang tidak terlalu mengikat.

Lagi-lagi saya bergidik. Anak-anak muda yang menyebut dirinya “millennials” itu ingin menetapkan “agama” mereka sendiri? Dengan aturan-aturan mereka sendiri? Bukankah ini mengerikan, menetapkan aturan “yang tidak terlalu mengikat” sekehendak hati di usia semuda itu? Apalagi di era internet ini, di mana bisa dibilang tak ada lagi sekat wilayah bagi para pengguna internet dari segala penjuru dunia, pemikiran seperti ini bisa saja meracuni pikiran para pemuda di tempat lain yang secara geografis terpisah jauh dari Amerika!

Saya melihat ini sebagai potensi ancaman bagi generasi kita. Kita betul-betul harus membentengi diri dan anak-anak kita dari pemikiran seperti ini. Ini tugas berat bagi para orangtua!

Pentingnya Peran Orangtua

Pada awalnya, mengajar nilai-nilai moral yang biasanya bersumber dari ajaran agama adalah tanggung jawab orangtua. Pada awalnya ia berupa doktrin yang dogmatik. Begitu pula dalam pengalaman saya sendiri, pada awalnya ajaran agama memang harus diterima seperti itu. Secara perlahan, pencarian yang benar akan membawa kepada pemahaman yang benar mengenai agama itu sendiri – yang tidak hanya sekadar ritual tetapi juga pedoman hidup. Dan tak lain, tugas orangtua untuk memasukkan pemahaman itu kepada anaknya (ya Allah, berilah kemudahan bagi saya untuk hal ini, saya butuh kemudahan dari-Mu).

Pada awalnya, ajaran agama adalah doktrin dogmatis
Mengenai peran orangtua, mantan menteri pendidikan Amerika pernah mengemukakan kegelisahannya menyaksikan kondisi keluarga di sana: “Kegagalan pendidikan etika di sekolah-sekolah Amerika, di antaranya diakibatkan oleh lingkungan dan kondisi keluarga yang tidak mendukung perkembangan anak. Di tengah-tengah kita banyak keluarga dengan kedua orangtua yang sibuk bekerja. Banyak pula keluarga yang dikuasai dan didominasi salah satu pihak, ayah atau ibu ...”[ii]

Robert Coles[iii], penulis buku Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak, juga berpendapat bahwa peran orangtua sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anaknya.

Robert Coles banyak melakukan pertemuan dengan para orangtua di Amerika, termasuk mereka yang memiliki anak usia remaja dan dewasa muda. Coles berkata, “Saya menceritakan tentang kesepian yang dirasakan oleh banyak orang muda, walaupun seandainya mereka memiliki cukup banyak teman baik dan kelihatannya berada di tengah-tengah kelimpahan. Ini merupakan kesepian yang ada kaitannya dengan penilaian yang diterapkan pada diri sendiri: didorong dan ditarik oleh serangkaian dorongan, hasrat, kecemasan, perasaan takut yang sungguh tak mungkin dibagi kepada orang lain.”[iv]

Coles banyak membagi kisah-kisah dalam buku ini yang makin memperkuat pentingnya peran orangtua. Seorang muda yang sedang dilanda “kesepian” seperti yang disebutkan di atas, mencari kenyamanan dari luar dirinya. Ada yang mendapatkannya melalui narkotika ataupun dengan melakukan seks bebas. Adalah tugas orangtua dalam membantu problema seperti ini. Pendekatan yang tepat dibutuhkan sebab jika salah, alih-alih anak akan terbuka, mereka malah semakin menjauh. Masalah sesungguhnya bukanlah dari luar diri sang anak melainkan dalam dirinya sendiri. Ini membutuhkan penanganan yang tepat.

Di bagian penutup bukunya, Coles menuturkan, “ ... kaum remaja perlu mencari cara bagaimana menganggap tubuh mereka yang memiliki kemampuan baru dan kehausan baru, dan juga berbagai minat dan pilihan serta sikap yang terus-menerus ditimpakan kepada mereka, oleh sahabat, oleh iklan, oleh bintang film, pembawa acara, penyanyi, pemusik, oleh pahlawan olahraga. Bagaimana kita seharusnya, sebagai orangtua atau sebagai guru (orangtua itu, sekali lagi, selalu menjadi guru juga) berusaha menjalankan kewajiban sebaik mungkin untuk menyampaikan prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan serta nilai-nilai kita kepada generasi berikutnya.”

Nah, prinsip, keyakinan, ataupun nilai ini menurut saya ada – komplit di dalam ajaran agama. Orangtua dituntut memiliki pengetahuan agama yang memadai karenanya. Untuk menjawab kebutuhan anak-anak kita, untuk menjawab tantangan zaman. Sungguh, bukan tanggung jawab yang ringan karena semakin besar usia anak, orangtua dituntut untuk menaikkan level pengetahuannya.

Jika di saat remaja/dewasa mudanya anak-anak memutuskan untuk meninggalkan ajaran agama. Tentunya menjadi jauh lebih berat lagi tanggung jawab orangtua karena anak-anak ini sudah semakin pandai beradu argumen. Padahal perjalanan hidup mereka belum juga separuh jalan. Masih begitu banyak aral-rintangan yang akan mereka lalui di kemudian hari. Dan pondasi agama yang kokoh untuk melaluinya adalah solusinya.

Ya Allah, tolong beri kami kekuatan dalam membimbing anak-anak kami.

Makassar, 23 Juli 2012




[i] Ust. M. Hamid, Mutiara Kisah 25 Nabi & Rasul dalam al-Qur’an, penerbit CV. Karya Utama Surabaya.

[ii] Halaman 24 buku “Mendidik Anak Zaman Kita”, karya Dr. Hassan Syamsi Basya, penerbit Zaman, 2011. Dikutip dari majalah al-Bayân, edisi IX, yang dinukil dari majalah Brain Trust edisi Oktober 1987.

[iii] Robert Coles adalah seorang psikiater anak, psikiater peneliti pada Harvard University Health Services, dan profesor psikiatri serta ilmu-ilmu kemanusiaan medis pada Harvard Medical School. Ia menyandang gelar James Agee Professor of Social Ethics di Harvard. Telah menulis lebih dari 1000 artikel, tinjauan, dan esai serta lebih dari 50 buku.

[iv] Halaman 176 buku “Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak” karya Robert Coles, terbitan Gramedia Pustaka Utama (2000).


Share :

47 Komentar di "Potensi Ancaman: Makin Banyak Kaum Muda AS Tolak Ajaran Agama"

  1. Miriiiiis dengan adanya kenyataan seperti ini mbak. Apa jadinya negeri itu jika agama tidak lagi menjadi pegangan hidup. Tidak mesti Islam sebenarnya. agama lain pun memiliki aturan dan nilai-nilai kebaikan yang membuat manusia hidupr teraarh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Sy pikir "agama tradisional" lain pun punya pakem-pakem sendiri untuk menjaga moral pemeluknya. Sayang sekali kalau sampai gerakan anak2 muda ini meluas.

      Delete
    2. kebetulan islam bukan agama mayoritas di US, keengganan kaum muda untuk beragama saya pikir mirip dengan fenomena yang dialami Jeffry Lang (Professor matematika di Kansas-US). Dia memutuskan tidak beragama karena diantaranya (menurut pengakuannya) agama yang dianut keluarganya secara turun temurun adalah (1) tidak logis alias banyak pertentangan (2) tuhan tidak berlaku adil dengan mebiarkan banyak orang jahat tetap hidup dan dunia makin berantakan (3) tidak membuat ayahnya menjadi ayah yang benar (4) membuat ibunya lebih menerima untuk ditindas oleh ayahnya sendiri. Jeffry akhirnya memilih atheis hingga suatu saat dia mendapat berkesempatan untuk membaca Al Quran dengan comentary dari Abdullah Yusuf Ali yang kemudian menuntunya untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. Detil kisahnya dapat diikuti di youtube yang memuat wawancara dengan Jeffry Lang. Singkat cerita jika dakwah tidak jalan dan tidak dijalankan dengan baik dan benar, maka semakin banyak manusia yang lebih senang untuk memilih tidak beragama.

      Delete
    3. Subhanallah kak Facta. Membaca komentar kakak, saya semakin menyadari betapa besar tanggung jawab orangtua dalam hal ini. Menghadapi anak-anak cerdas yang selalu mempertanyakan - bahkan keyakinan dalam bingkai logika, sungguh bukan hal mudah.

      Mudah2an kita dituntun menjadi orangtua yang mampu menjawab keresahan anak2 seperti itu. Sy belum tahu kisah prof. Jeffry Lang itu, tapi jika yang menghadapi masalah itu adalah anak remaja/dewasa muda tentu menjawab keresahan mereka bukan hal sederhana. Ini sejalan dengan yang ditulis Robert Coles yang saya tulis di atas, bahwa anak2 usia itu merasakan "kesepian" bahkan jika mereka memiliki banyak teman baik dan berada di tengah2 kelimpahan.

      Ya Allah ... betul2 diamanahi anak adalah "PPD DUnia-akhirat"

      Delete
    4. kalo orang tuanya sadar bahwa beragama itu penting mungkin krisis keimanan itu tidak semakin parah, namun trend yang ada cenderung mengabaikan bahwa telah ada krisis keimanan di dalam diri, keluarga dan masyarakat karena pengaruh tekanan keuangan dan propaganda bahwa kesuksesan seseorang identik dengan sejauhmana dia mampu mengumpulkan kekayaan dan meraih gemerlapnya kekuasaan (kedudukan) semata. Umum juga di indonesia para orang tua sering berkata: "Kami bersyukur bahwa anak kami telah "menjadi orang" ". Lha, apa sebelumnya anaknya cuman orang-orangan? Telah menjadi hal umum bahwa kata "menjadi orang" identik dengan kondisi bahwa si anak telah bekerja, berduit, kaya, berkedudukan dan berpangkat tinggi, tanpa mempedulikan apakah si anak masih beribadah sesuai tuntunan agama atau tidak.

      Delete
    5. PPD Dunia-akhirat => Program Pengembangan Diri Dunia Akherat? Jadi ingat nasehat KH Ahmad Dahlan:"Aku ini sudah tua, berusia lanjut, kekuatanku pun sudah sangat terbatas. Tapi, aku tetap memaksakan diri memenuhi kewajibanku beramal, bekerja, dan berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perintah Tuhan. Aku sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa memperbaiki urusan yang terlanjur salah dan disalahgunakan atau diselewengkan adalah merupakan kewajiban setiap manusia, terutama kewajiban umat Islam."

      Delete
    6. Seperti saya yang masih sering disesali karena "hanya ibu rumahtangga biasa" hiks ...
      Iya kak, ini program pengembangan diri paket dunia-akhirat. Deg2an saya menatap masa depan dengan 3 anak yang harus dibimbing ... mudah2an diberi kekuatan oleh Sang Maha Pencipta .. aamiin

      Delete
  2. Bagus mbak, semoga kita bisa istiqomah menjaga anak-anak di jalan cahaya mengingat godaan duniawi beraneka rupa...
    Semoga menang ;)
    (Dwi Aprilytanti)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semmoga ya mbak Dwi. Terimakasih :)

      Delete
  3. Iya k', benar agama adalah pedoman hidup. Karena dalam agama sudah ada tuntunan dan nilai-nilai kebajikan yang memberikan kita kebahagian hidup dunia dan akhirat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar Nu. Rasanya damai kalau berada dalam aturan2 agama ya, karena yang menetapkannya kan Sang Maha Pencipta :)

      Delete
  4. Membuat diri merenung, Sudahkah melakukan yang terbaik untuk buah hati

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul. Dan membuat makin menyadari bahwa tugas orangtua itu berat ...

      Delete
  5. Semoga kecenderungan ini tidak merambah ke Indonesia, atau dalam lingkup kecil ke kampung kita, atau lebih kecil ke keluarga kita ya, Mbak.

    Mari terus memperbaiki diri sekaligus mengajak keluarga kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga ya mas Akhmad. Betapa mengerikannya bila sampai terjadi ...

      Delete
  6. Bagus ulasannya, mba
    aku malah belum baca berita yg itu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah mbak. Terimakasih dah mampir. Berita baru banyak mbak :)

      Delete
  7. seram ya mbak kalau baca tentang itu

    ReplyDelete
  8. Jadi inget chat dengan seorang teman di Semarang tadi siang, katanya ada seorang kenalan beliau ( muslimah ) yang terang-terangan menyatakan atheis dan kini tinggal di Amerika. Astaghfirulloh! Nauzubillah summa nauzubillah! Semoga apa yang sudah ditetapkan dalam dada kita ( iman dan islam ) tiada terlepas hingga nyawa lepas dari badan. Amin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh ya Allah, makin banyak orang Indonesia memilih atheis ya abi Sabila? Kemarin baca di mana gitu, di Sumatera Barat ada yang mengaku atheis lalu dipenjara.

      Mudah2an kita dan keluarga kita dijauhkan dari hal2 demikian ... na'udzu billaah ...

      Delete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm .. menarik. Baru terpikir "kesamaan" dan "kedekatan" itu

      Delete
    2. sorry ada ralat sedikit ttg posting saya sebelumnya; namun saya tetap ingat komentar seorang pendakwah kawakan Sheikh Ahmed Deedat, apa yang harus dikatakan oleh seorang muslim ketika bertemu dengan orang yang menolak Tuhan (ateis). Beliau menyarankan bahwa sebaiknya seorang muslim mengucapkan selamat pada si ateis karena dia sudah dekat untuk menjadi muslim, karena syarat pertama untuk menjadi muslim adalah mengucapkan kalimat syahadat yang kalimat pertamanya adalah La ilaha (Tidak ada tuhan) sehingga seharusnya si ateis tinggal meneruskan sisanya yakni ilallah (kecuali Allah), sehingga lengkaplah si ateis mengucapkan La ilaha ilallah (Tidak ada tuhan, kecuali Allah). Dengan demikian si ateis seyogyanya telah beragama dan menjadi oleh yang selamat. Walau saran ini nampak berupa sindiran atau gurauan namun menarik, bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan benar dan saat melakukan dakwah sebaiknya membicarakan hal hal yang memiliki kesamaan bukannya perbedaan (talking at the same grass roots).

      Delete
    3. kalo menurut saya yang menarik adalah adanya fenomena di US yang menantang setiap orang beragama untuk menaruh perhatian dan aksi terhadap kecendurangn kaum muda untuk memproklamirkan dirinya untuk tidak beragama dan ateis. Tantangan ini tentunya tidak hanya di US namun sangat dimungkinkan terjadi di belahan bumi yang lain, sehingga untuk menjawabnya tentunya diperlukan pemikiran yang cerdas disertai sikap arif dan bijak berlandaskan keimanan yang kuat.

      Delete
    4. Benar kak. Fenomena yang menarik karena mengerikan. Pengaruh yang bisa saja menjalar ke mana saja. Dan keluarga sebagai organisasi terkecil dalam negara ini harus betul2 kuat karenanya. Terimakasih sharingnya kak ... sangat bermanfaat

      Delete
    5. tulisan bagus, kak .. as always :)
      maaf saya komennya disini soalnya sangat menarik membaca komentar pak MhD FACTA tentang cara menanggapi orang ateis di atas hehehe

      Delete
    6. Benar kak, fenomena yang menarik sekaligus mengerikan karena bisa saja merembet ke mana2. Bagi saya yang paling "menarik" adalah saat saya sadar betapa berat tugas orangtua menghadapi hal yang seperti ini. Harus benar2 bersiap diri dan akhirnya harus benar2 kuat.

      Terimakasih sharingnya kak, sangat bermanfaat. Terimakasih telah berbagi hal2 yang saya belum tahu

      Delete
    7. Yap Icha .. banyak yang baru saya tahu ...

      Delete
  10. Keyakinan = Sumber kekuatan

    Gimana kabarnya Mbak? Sehat-sehat saja kan? Lama saya nggak nongkrong di sini. Sekali nongkrong langsung dapat bacaan yang menyegarkan hati. Makasih ya Mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah sehat mas. Makasih sudah menyempatkan bertandang ke mari. Maaf saya belum bisa ke tempat mas Hakim .. mudah2an besok bisa :)

      Delete
  11. bagaimana dengan saya yang masih single.. ?

    *lho berarti saya kaum muda.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ... dirimu sudah punya kesadaran dek ... modal awal :) Ntar sebelum nikah, cari ilmu banyak2 dulu ya biar benar2 bisa menjadi imam keluarga ^__^

      Delete
  12. aduh ngeri bgt... postingan ini bikin sy merenung sekaligus berharap semoga ini tdk terjadi pd buah hati kita ya... ayo ah semakin semangat lagi menjaga buah hati kita..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak, sangat mengerikan. Semoga kita dilindungi dari hal semacam ini ya ^__^

      Delete
  13. Semakin kesini memang semakin membuat hati dag dig dug dunia ini... apalagi perihal keyakinan..
    Semoga kita tetap selalu punya "keyakinan" bahwa agama adalah koridor kita..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dunia semakin tua, keyakinan seseorang semakin diuji. Semoga kita memegang keyakinan kita dengan teguh.

      Delete
  14. Saya tidak tidak beragama, hanya penganut keyakinan /kepercayaan yang sudah turun temurun di lakoni olah nenek moyang kami. Yang mengajarkan kami tentang welas asih, tata krama dan dekat dengan alam.

    saya adalah seseorang dari lereng puncak bromo,apa pendapat tuan tuan dan nyonya terhormat tentang saya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Agama saya mengajarkan untuk saling menghormati keyakinan orang lain. Keyakinan yang baik yang dipegang dengan dengan baik oleh penganutnya, yang diajarkan secara turun-temurun bahkan hingga ratusan tahun mestinya mengajarkan kebijakan yang akan menjaga penganutnya untuk juga berlaku bijak dan menjaga hidupnya supaya baik2 saja.

      Di AS itu kasusnya, anak2 muda mau membuat aturan mereka sendiri yang jelas saja masih tanda tanya. Terimakasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar Anda.

      Delete
    2. Oya di daerah kami ada penganut keyakinan seperti Anda, di daerah Arawa (kabupaten Sidrap, Sul Sel). Kakek dari ayah mertua saya menganut itu tapi ayah mertua saya sudah memilih Islam. Dan hidup mereka baik2 saja, berdampingan dengan yang lainnya, tidak ada masalah. Toh keyakinan mereka pastinya juga mengandung kebijakan yang sudah ratusan tahun dipegang.

      Delete
  15. Semoga kita membentengi diri kita menuju jalan yang benar =)

    ReplyDelete
  16. Betul Mugniar, agama yang diyakini dengan tepat serta dilaksanakan hanya karena Allah akan membawa banyak ketenangan serta bisa memberi jalan keluar pada banyak masalah dalam kehidupan kita...
    Saya sependapat :)

    ReplyDelete
  17. Mbak niar, emang kok dari orang tua mengajarkan spiritual yang baik dan benar untuk anak2nya supaya kedepannya memiliki pegangan hidup yang lebih baik lagi :D

    Keren beneran ini tulisannya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Niar. Betul :)Terimakasih ya sudah mampir :)

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^