Mengulas Soal Kerancuan Media Kita

Sepanjang pagi hingga siang hari, Makassar diguyur hujan cukup deras, tapi saya berusaha untuk bisa datang ke acara diskusi yang diselenggarakan oleh CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) di gedung BaKTI, tanggal 16 Januari kemarin.

Acara ini merupakan diskusi terbuka Roadshow Seri Penelitian Media CIPG, bertajuk "Media Kita : Milik Siapa Untuk Siapa". Sekaligus untuk mempublikasikan hasil penelitian media yang telah diterbitkan CIPG. Diskusi ini diharapkan dapat memperkuat wacana kritis terhadap media sekaligus mendorong warga untuk semakin melek media.

Rasanya koq kebetulan sekali, akhir-akhir ini saya sedang memperhatikan media – khususnya acara televisi kita sampai-sampai saya memutuskan untuk mengadukan sebuah acara yang tak layak tayang ke KPI pada tanggal 7 Januari lalu (bisa dibaca di sini).

Ribuan media dimiliki oleh hanya 12 perusahaan
Gambar capture dari video Media Kita: Milik Siapa, Untuk Siapa?
(http://www.youtube.com/watch?v=Eoq_8qKnkb0)
Secara kebetulan pula, dalam waktu dekat insya Allah saya hendak menghadiri sebuah pelatihan yang mengambil topik Analisis Media. Ini hal yang luar biasa. Sebagai seorang emak blogger, saya merasa punya kepentingan untuk hadir dalam diskusi ini.

Betapa girangnya saya mendapatkan 3 buku gratis yang berisi hasil-hasil penelitian CIPG. Buku-buku itu berjudul: Memetakan Kebijakan Media di Indonesia, Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah, dan Warga Bicara Media: Sepuluh Cerita.

Peneliti CIPG, Muhammad Fajri Siregar tampil sebagai nara sumber. Mula-mula ia memutarkan sebuah film pendek berjudul Terpenjara di Udara. Film itu mengulas permasalahan media di negara ini.

Mulanya ditampilkan sebuah radio komunitas di Lampung yang dikelola swadaya, dengan fasilitas seadanya. 22 radio komunitas di Lampung tergabung dalam JRKL (Jaringan Radio Komunitas Lampung) sangat peduli dengan siaran-siaran radio yang sehat untuk warga sekitar.

Walau tanpa dukungan dana dari sponsor, mereka ikhlas mengudara untuk kebaikan masyarakat Lampung yang penting untuk pedesaan. Salah satu sasarannya adalah bagaimana memberdayakan petani dan pertanian di Lampung.

Video “Terpenjara di Udara” bisa diakses di link:

http://www.youtube.com/watch?v=-3dkA7CHxjU

Namun ada masalah besar yang dihadapi para pengelola JRKL, yaitu mengenai alokasi frekuensi dan perizinan dari pemerintah. Radio komunitas diberikan frekuensi di kanal 202 yang letaknya paling ujung, dekat sekali dengan frekuensi yang dipergunakan oleh penerbangan nasional. Tentunya ini amat rentan mengganggu frekuensi penerbangan.

Untuk perizinan, radio komunitas cenderung sulit mendapatkannya. Hingga saat ini sudah ada 6 radio komunitas di Lampung yang berhenti mengudara karena tidak juga mendapatkan izin. Bahkan ada yang mengurusnya hingga bertahun-tahun lamanya tapi izin tak juga kunjung diperoleh.

Selain itu ada permasalahan besar mengenai penggunaan frekuensi publik di negara ini:
  • Frekuensi dimaknai sebagai milik perusahaan.
  • Dalam penggunaan frekuensi, berdasarkan peraturan, setiap 10 tahun seharusnya dikembalikan kepada negara untuk kemudian ditinjau kembali. Namun hal ini tidak pernah dilakukan.
Bicara mengenai media, seolah sudah lazim dengan berbagai permasalahan di dalamnya. Akhir-akhir ini masyarakat menyoroti berbagai tayangan yang be-rating tinggi tapi mutunya mengkhawatirkan.

Independensi media patut dipertanyakan
Gambar capture dari video Media Kita: Milik Siapa, Untuk Siapa?
(http://www.youtube.com/watch?v=Eoq_8qKnkb0)
Saya pun tak ketinggalan. Bukan hanya ikut menandatangani petisi untuk menghentikan acara YKS  di www.change.org, saya juga mengulas beberapa tayangan pada beberapa tulisan di blog ini. Yang terakhir adalah mengenai sebuah segmen pada acara Dahsyat tanggal 5 Januari kemarin (bisa baca di Mengumbar Rahasia Pribadi Seseorang di Televisi dalam Siaran Langsung Adalah BULLY!). Jengah rasanya, stasiun tivi yang bersiaran nasional dengan seenaknya mengatur tayangan berdasarkan rating.

Memang ada tayangan-tayangan lain yang bersifat idealis dan edukatif. Namun tayangan-tayangan yang berating tinggi itu tayangnya pada jam-jam sebagian besar masyarakat sedang melek-meleknya atau sedang segar-segarnya. Sudah begitu, ditiru pula oleh stasiun-stasiun tivi lainnya. Sekarang, mulai pagi sampai malam berbagai tayangan yang mirip-mirip modelnya tayang di stasiun-stasiun tivi Indonesia, menjanjikan pemenuhan kebutuhan hiburan masyarakat kita yang sedang terpuruk oleh berbagai masalah kehidupan.

Percaya atau tidak, ada ribuan media di sekitar kita, mulai dari televisi, radio, surat kabar, dan majalah. Tapi bila dikerucutkan pemiliknya “hanyalah” 12 grup besar? 

Well, itu hasil penelitian dari CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) lho. Maka jangan heran bila media sekarang begitu mudahnya menjadi corong dari partai-partai politik yang sedang berusaha menggaet simpatisan. Jangan heran pula bila berbagai ketimpangan selalu saja terjadi karena mereka bisa seenaknya mengibuli aturan yang berlaku.

Video “Media Kita: Milik Siapa, Untuk Siapa? Bisa diakses di link:

http://www.youtube.com/watch?v=Eoq_8qKnkb0

Mau tahu siapa saja mereka? Ini dia:
  1. Global Mediacomm (MNC), pemilik: Hary Tanoesoedibjo
  2. Jawa Pos News Network, pemilik: Dahlan Iskan dan Azrul Ananda
  3. Kelompok Kompas Gramedia, pemilik: Jacob Oetama
  4. Mahaka Media Group, pemilik: Abdul Gani dan Erick Thohir
  5. Elang Mahkota Teknologi, pemilik: Kaluarga Sariaatmadja
  6. CT Corp, pemilik: Chairul Tanjung
  7. Visi Media Asia, pemilik: Bakrie & Brothers
  8. Media Group, pemilik: Surya Paloh
  9. MRA Media, pemilik: Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo
  10. Femina Group, pemilik: Pia Alisjahbana
  11. Tempo Inti Media, pemilik: Yayasan Tempo
  12. Beritasatu Mediaholding, pemilik: Lippo Group
Satu contoh lagi, konon stasiun televisi hanya boleh mengudara secara nasional bila memiliki jaringan dengan stasiun televisi lokal. Tapi kenyatannya kan tidak demikian?

Tayangan televisi saat ini lebih bersifat seragam, mengabaikan banyak kepentingan. Di antaranya adalah kepentingan perempuan dan anak, dan teman-teman difabel. Kalau mau tahu lebih jelasnya, silakan ditonton video yang menggambarkan hasil penelitian CIPG yang saya sertakan dalam tulisan ini.

Lalu apa kesimpulan dari diskusi ini?

Kesimpulannya adalah: adalah hal yang mendesak, revitalisasi lembaga penyiaran publik. Masyarakah diharapkan lebih proaktif dalam mengkritisi segala informasi yang diberikan media dan menggunakan media-media sosial yang ada dengan lebih maksimal untuk menyuarakan kepentingannya.

Kalau boleh, saya mau memberikan saran:
  • Tuliskan hal-hal yang bermanfaat dan baik tentang keseharian dan sekitar Anda di media sosial yang Anda gunakan.
  • Ngeblog yuk, Anda bisa menciptakan media sendiri melalui blog yang Anda kelola. Banyak hal yang bisa Anda lakukan, termasuk memperkenalkan keunikan dan eksotisme daerah Anda, dan lain-lain. Bahkan kelak tulisan-tulisan itu bisa Anda wariskan kepada anak-cucu dan bisa menjadi sumber amal jariyah Anda.


Makassar, 17 Januari 2014

Keterangan:
  • Biasanya bisa insert video di editor Blogspot ini, entah mengapa kali ini saya kesulitan menampilkannya. Anda bisa mengaksesnya langsung di Youtube, melalui link yang saya tuliskan di atas.
  • CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) adalah organisasi konsultasi berbasis penelitian yang bercita-cita untuk unggul dalam area sains, teknologi, inovasi, dan tata kelola. Berawal dari suatu kelompok studi mahasiswa Indonesia di luar negeri sejak tahun 2007, CIPG resmi didirikan di Jakarta, Indonesia pada tahun 2010. Merupakan salah satu dari kelompok konsultasi pertama di Indonesia yang berkeinginan kuat untuk membangun kapasitas riset Indonesia di berbagai sektor. Keunggulannya terletak pada proses riset yang ketat, dan pada relevansi aktivitasnya dengan pemangku kepentingan serta masyarakat yang dibangun melalui keterlibatan secara aktif. Website-nya: http://cipg.or.id/.








Share :

21 Komentar di "Mengulas Soal Kerancuan Media Kita "

  1. waduh Mak, jadi ber Oh-Oh ria nih... ternyata hanya 12 grup besar ya..
    setuju banget sama saran Mak Niar, dah berusaha sih menuliskan yang baik-baik, memperkenalkan budaya, keunikan dan eksotisme ini yang belum kulakukan. Makasih Maaak..

    ReplyDelete
  2. beruntungnya aku terbiasa ga nonton tv dari kelas 3 SMP dulu.kalopun ga ngeblog, lebih baik lakukan hal lain daripada nonton tv aku sih tante.. jadinya agak kurang update sama tayangan tv. tapi yaa tau sih, sekedar tau. heuu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukurlah Syifa tidak kecanduan nonton tivi ya :)

      Delete
  3. Media cetak dan media elektronik seyogyanya menghadirkan informasi,ilmu pengetahuan dan hiburan yang baik dan bermanfaat kepada masyarakat. Televisi yang setiap hari dtonton jutaan rakyat juga wajib menyiarkan acara-acara yang kuktural edukatif.

    Terima kasih reportasenya Jeng
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seharusnya demikian Pakdhe. namun yaa... namanya juga industri, tentu mereka mau untung

      Delete
  4. Saya kurang begitu suka tayangan di televisi. Hanya beberapa yg saya suka, itu pun yg b'sifat edukatif.

    Semoga anak bangsa tidak terkontaminasi oleh sajian media yg tidak baik untuk perkembangan mereka.

    ReplyDelete
  5. Terima Kasih Bu Niar telah berbagi informasi pada kita semua ...

    saya hanya bisa berharap ... sekalipun dikuasai oleh 12 kelompok saja ... dan beberapa dari mereka berkiprah di politik ...
    Semoga mereka bisa bertindak profesional ... saya yakin orang-orang seperti kita ... yang koncern mengenai isi tayangan ... ada yang bekerja di Media ... dan saya yakin mereka juga gerah dengan apa yang terjadi ...

    Semoga mereka bisa lebih "bersuara" lagi di dalam tubuh group media tersebut ... Saya yakin mereka pintar-pintar dan punya "taste" yang bagus dan punya suara hati nurani juga kok ... mereka manusia seperti kita ...
    Profesionalisme harus di kedepankan ... kalau tidak mereka akan tergerus ...

    Mari kita awasi terus media kita ... yang bagus kita nikmati ... yang kurang bagus kita koreksi ... Sebisa kita

    Salam saya Bu Niar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentu om, mash ada di antara mereka orang2 yang berhati bening dan berjiwa bersih.

      Ya, kita harus sama2 mengawasi dan memproteksi diri om ...

      Delete
  6. wah seru ya bnyk acara bermanfaat di kota tmpt tinggal mba..

    klo saya justru pas prime time lg teler2nya.. abis isya pasti mata pgnnya diajak merem.. bgn lg jam 10/11an hihihi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emak2 ya ... sama juga sih dengan saya sebenarnya. Sekali2 saja saya suka mengamati tivi

      Delete
  7. Aih pemerintah gak insap2. Frekwensi bagus di kasih ke swasta yang bisa bayar mahal sementara yang gak bayar di pepetin ke paling ujung..Benang kusut benar di kepala mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah2an tak lantas menjadi membuat banyak orang Indonesia menjadi penonton yang pikirannya kusut ya Kak ...

      Delete
  8. Kebetulan saya adalah orang yg pasif terhadap hal seperti ini, tidak memprotesnya dan cenderung melindungi diri dan keluarga dari tayangan yg tidak bermanfaat dengan kembali ke TVRI sebagai media informasi dan hiburan keluarga. Karena hanya disana kami merasa nyaman.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ooh maaf kita berbeda. Saya tentu saja melindungi diri saya. Tetapi saya berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dengan mengadukan apa yang tak layak untuk ditonton anak2 bangsa ini, dan itu membuat saya merasa nyaman.

      Delete
    2. *melindungi diri saya dan keluarga saya*

      Delete
    3. Jujur saya salut dengan bunda yg aktif mengkritisi kondisi yang ada saat ini terutama media kita. Mungkin karena saya orang yg sibuk mencari nafkah keluarga sehingga kurang mengikuti perkembangan yg ada. Bahkan ketika di sosmed ribut ribut dg sebuah isu entah tentang artis atau tayangan yg nonedukatif, saya baru ngeh ketika searching di internet. Karena memang sudah lama sekali kami hanya nonton TVRI saja. Mudah mudahan lebih banyak ibu seperti bunda yg kritis dan peduli, karena para ibulah yg betul betul bersentuhan dg pertumbuhan anak anak dirumah. Bukan berarti bapak bapak tidak peduli lo...
      Salam dari Tangerang
      Edi Padmono

      Delete
    4. Terima kasih supportnya mas Edi. Ada tantangan besarnya menuliskan atau ribut dengan hal seperti ini, yaitu orang2 yang berkomentar dengan: "Kenapa ribut, kan tinggal ganti channel."

      Waduh itu kan saya lakukan juga. Tapi bagaimana dengan anak2 bangsa lain yang orangtuanya tidak peduli dengan tayangan2 tidak bermutu saat ini? Lebih salah lagi kalau saya tidak menuliskan apa2 sementara saya bisa menulis. Atau lebih salah lagi saya tidak mengatakan apa2 padahal siapa pun bebas berpendapat.

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^