Terbuai Voucher dan Bonus Senilai Jutaan Rupiah

Tulisan ini merupakan kisah nyata. Nama-nama orang yang mengalami disamarkan.

Pesawat telepon leased line[1] berdering. Suara seorang perempuan terdengar.

“Selamat pagi, Bu. Saya Ana. Selamat, nomor telepon Ibu terpilih di antara seratus nomor yang beruntung. Ibu bisa datang ke kantor Kami untuk mengambil hadiahnya,” perempuan itu menjelaskan.

“Apa ini? Kenapa nomor telepon Saya?” tanya bu Ramlan, seorang nenek berusia 70 tahun.
“Komputer Kami mengacaknya, Bu. Di antara banyak nomor di kota ini, nomor Ibu termasuk yang beruntung. Kami mengadakan program pemeriksaan gratis hanya selama beberapa hari. Selain mendapatkan hadiah, Ibu dan Bapak terpilih untuk mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan gratis di klinik Kami.”

Ana – perempuan berusia dua puluhan tahun memberikan nomor telepon dan alamat kantornya yang ia sebutkan sebagai klinik X.

Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Ana, bu Ramlan memberitahukan berita itu kepada suami dan anaknya Ratih. Baik pak Ramlan (73 tahun) maupun Ratih bisa menebak, itu pasti tenaga sales yang ingin mempromosikan produk yang dijualnya.

Bu Ramlan yang punya karakter suka penasaran dengan hal-hal yang menurutnya hanya diketahui sedikit tak berhenti bertanya-tanya. Argumen yang diberikan suami dan anaknya tidak bisa menahan rasa penasarannya.

“Kenapa nomor telepon kita? Ibu menelepon bu Kadri yang tinggal dekat klinik itu tapi ia tak ditelepon klinik itu? Juga tante Sarah yang tinggal di dekat situ. Kenapa mereka tak ditelepon?” cecar bu Ramlan.

“Bu, gampang saja kan. Mereka tinggal mencari yang mereka bilang nama-nama yang beruntung itu di buku telepon? Nama Bapak kan ada di buku telepon?” Ratih mencoba menjelaskan.

“Tapi kenapa nomor kita?”

Ratih menghela nafas panjang. Ia tak tahu hendak berkata apa lagi. Ia tahu watak ibunya. Hanya akan puas bila sudah mendatangi klinik X.

Ana kembali menelepon. Tak banyak penjelasan yang bisa didapatkan bu Ramlan. Apa yang dikatakan Ana sama saja dengan yang dikatakannya sebelumnya. Ana membujuk bu Ramlan dan suaminya untuk datang dulu ke klinik X itu.

“Saya lagi tidak enak badan ini. Suami Saya juga lagi sakit. Bisa kalau menantu Saya saja yang ke situ?” tanya bu Ramlan.
“Justru bagus kan Bu, sekalian diperiksa. Bisa saja menantunya datang, Bu. Tapi datangnya dengan anak Ibu ya,”  kata Ana.

Pikiran bu Ramlan menjadi ruwet. Telepon dari klinik X tak berhenti dibahasnya. “Pusing,” katanya.
“Ya sudah. Ibu tak usah datang. Tidak usah dipikir. Ngapain dipikirin terus sih?” Ratih menawarkan solusi.
“Tidak bisa. Ibu heran kenapa mereka tahu nomor telepon kita. Terus hadiah apa yang mau dikasih kepada kita? Bikin pusing saja!”

Ratih menarik nafas panjang. Pusing koq dibahas. Speechless.

Bu Ramlan meminta Andri - suami Ratih untuk membawa KTPnya dan KTP pak Ramlan ke klinik X. Andri menyanggupinya. Tetapi maksud Andri tak mau ditanggapi oleh pihak klinik. Katanya harus pak dan bu Ramlan sendiri yang datang.

Pikiran bu Ramlan ruwet lagi. Ratih menyayangkan sikap ibunya menanggapi hal sepele ini. Tapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Makanya saat bu Ramlan memintanya untuk menemaninya ke klinik X keesokan paginya, ia menyanggupinya.

“Tidak bisa. Harus Bapak dan Ibu sendiri yang datang. Mereka tak mau menerimanya kalau bukan Bapak dan Ibu,” bisik Andri pada istrinya.

“Kau tahu Ibu. Ia sendiri yang harus ke sana melihat ada apa di sana. Kalau Bapak tak mau pergi, bagaimana lagi? Aku harus mau menemaninya daripada Ibu penasaran terus!” sahut Ratih.

Di pagi yang gerimis itu, bu Ramlan dan Ratih meluncur menuju klinik yang lokasinya tak jauh dari rumah mereka menggunakan bentor. Tak sulit mencari alamat klinik X. Mereka turun di depan sebuah bangunan ruko baru berwarna abu-abu.

Ada beberapa bilik semi permanen di lantai satu ruko itu. Semua bilik terisi orang-orang yang sedang mengobrol ataupun sedang terapi.

Hati-hati dengan teknik berdagang aneh!
Sumber: beartoons.com
“Memang benar Ana pegawai Kami Bu, nomor telepon Ibu diacak oleh komputer Kami. Karena sayangnya Ana sama Ibu sampai-sampai ia menelepon lagi. Memang benar Bu, klinik Kami mengadakan pemeriksaan gratis. Hanya berlaku selama sepuluh hari. Kalau misalnya Ibu tak berminat, Kami bisa mengalihkannya ke nomor telepon lain. Kami juga memberikan hadiah untuk Ibu. Kalau Ibu mau ambil hadiahnya saja, tidak mau diperiksa juga bisa. Kami berharap dari seratus orang yang terpilih nanti akan menyebarkan informasi mengenai klinik Kami ini,” seorang lelaki berusia tigapuluhan tahun menjelaskan.

“Kalau begitu, periksa saja Saya. Lutut Saya ini sering sakit,” bu Ramlan kemudian menjelaskan penyakit yang dideritanya.

“Sayangnya tidak bisa Bu. Ibu harus datang bersama Bapak. Ini pertanggungjawaban Kami ke pusat,” laki-laki itu memperlihatkan beberapa lembar kertas yang berisi nama dan tanda tangan orang-orang yang sudah menjalani program di klinik itu.

Ratih yang tadinya agak antipati mulai percaya. Ia memang mudah percaya pada seseorang. Meskipun masih ada sedikit tanda tanya di benaknya: mengapa harus sepasang suami istri? Kenapa tidak sepasang ibu dan anak? Tetapi kemudian pertanyaan itu dihalaunya dengan jawabannya sendiri, “Barangkali memang seperti itu kebijakan perusahaannya.”

Bu Ramlan yang supel bercerita banyak hal kepada laki-laki itu tanpa diminta. Tentang keadaan ia dan suaminya yang sudah lama pensiun, dan tentang anak-anaknya yang semua sarjana dan sekarang membantu menopang kehidupannya. Ia bahkan bercerita tentang pekerjaan anak-menantunya.

“Siapa pemilik klinik ini?” tanya Ratih pada seorang perempuan yang sedari tadi hanya diam mendengarkan penjelasan kawannya.

“Orang dari Jakarta. Kami ada hubungannya dengan pengobatan herbal milik almarhum profesor Hembing. Saat ini anaknya yang mengelola. Banyak yang mau membeli peralatan kesehatan tetapi Kami tak mau menjualnya. Karena kalau dijual, bagaimana klinik ini bisa beroperasi lagi. Alat-alat Kami sudah digunakan di rumah-rumah sakit di Manado. Nanti Kami mau mengusulkan supaya rumah-rumah sakit di kota ini bisa memakainya,” perempuan itu menjelaskan panjang lebar seperti layaknya tenaga sales.

“Suamiku lagi sakit dan ia tak mau diajak ke sini,” sahut bu Ramlan.

“Coba bujuk-bujuk suaminya, Bu. Justru bagus kalau Bapak sedang kurang sehat, bisa sekalian diterapi. Mohon maaf sekali, Saya tidak bisa memberikan hadiahnya sekarang karena Ibu tidak datang bersama Bapak,” ujar laki-laki itu lagi.

“Kesempatannya hanya sampai besok ya Bu. Bila Ibu dan bapak tak datang, Kami mengalihkannya kepada orang lain yang berminat. Masih banyak yang berminat dengan program Kami,” lanjutnya lagi.

Bu Ramlan yang tegiur dengan janji terapi gratis dan iming-iming bahwa penyakitnya bisa disembuhkan menjadi semakin tertarik. Ratih semakin percaya karena nama profesor Hembing – sang maestro pengobatan herbal disebut-sebut oleh pegawai klinik X.

Sampai di rumah, bu Ramlan dan Ratih mencoba membujuk pak Ramlan dengan argumen yang diperoleh dari klinik X. “Bukan penipuan koq Pak. Mereka tak mungkin menipu. Kliniknya ada di Manado,” kata bu Ramlan. “Ini ada hubungannya dengan pengobatan herbal milik Hembing, Pak,” tandas Ratih. Pak Ramlan terbujuk.

Siang hari itu juga, pak dan bu Ramlan mendatangi klinik X. Mereka menjalani terapi gratis. Tiba saat pengambilan hadiah, pak Ramlan mendapat kesempatan tiga kali untuk menarik kertas undian. Kertas pertama bertuliskan “seterika”. Kertas undian kedua berisi tulisan hadiah voucher sebesar lebih satu juta rupiah untuk membeli peralatan kesehatan di klinik itu.

Pak dan bu Ramlan mulai tertarik menggunakan voucher itu membeli peralatan terapi akupunktur menggunakan sinar infra merah (electromagnetic wave pulsefoot massage) yang digunakan klinik itu. Lumayan, dapat potongan harga. Pada penarikan ketiga, pak Ramlan mendapatkan berbagai hadiah: satu set kursi pijat elektronik, satu set alat pijak elektronik, dan kompor induksi.

Para pegawai klinik bersorak, turut senang dengan keberuntungan pak Ramlan. Katanya baru kali ini ada yang seberuntung itu. Pak dan bu Ramlan pun tak kalah senangnya. Beberapa pegawai berujar, “Minta hadiah dong Bu .. Pak.” Karena merasa senang yang luar biasa, pak dan bu Ramlan membagi-bagikan uang kepada pegawai-pegawai klinik sebesar lima puluh ribu per orang. Mereka semua bergembira.

Karena tak membawa uang, mereka membawa pulang semua hadiah dan alat kesehatan yang hendak dibeli, diikuti oleh seorang pegawai klinik. Pegawai klink itu sekalian hendak menjelaskan mengenai cara pemakaian alat-alat itu.

Ratih yang diceritakan oleh bapak dan ibunya perihal keberuntungan di klinik merasa turut senang tetapi ia mengira barang-barang itu semuanya bonus. Ia terkejut kala pak Ramlan memberi setumpuk uang kepada pegawai klinik X yang mengikuti mereka. Pak Ramlan membayar sekitar lima koma delapan juta rupiah untuk sebuah alat akupunktur infra merah. Ratih cukup terhibur saat pegawai klinik itu mengatakan harga semua barang itu totalnya sebesar dua puluh satu juta rupiah.

Tapi mengingat uang lima juta lebih yang dikeluarkan pak Ramlan, ia bertanya-tanya, “Dari mana Bapak dapat uang sebanyak itu?”

Belakangan baru Ratih tahu bahwa bapaknya bergegas meminjam uang kepada tetangga untuk menebus harga barang itu. Bapak tak memberitahu kepadanya karena saat itu ia sedang tak punya uang sebanyak itu. Anehnya, Bapak tak menelepon anak-anaknya yang lain untuk keputusan mendadak membeli barang itu padahal biasanya Bapak sangat teliti dan menanyakan kepada anak-anaknya bila tak memiliki cukup uang untuk membeli sesuatu.

Saat Ratih menelepon saudara-saudaranya, serempak mereka berkata, “Itu penipuan!” Mita mengingatkan, ia pernah terpaksa membeli barang dengan cara seperti itu di sebuah mal lima tahun lalu. Ia menarik undian dan mendapatkan bonus banyak alat kesehatan dan alat masak. Pramuniaga mengatakan ia merupakan orang pertama yang beruntung. Beberapa pramuniaga yang berada di situ bersorak gembira, merayakan keberuntungan Mita. Mita membayar lebih dari lima juta rupiah dan membawa pulang bonus seharga puluhan juta rupiah.

Beberapa bulan kemudian, Mita mendatangi kembali tempat itu dan menarik undian. Ia mencoba mengetes cara yang dipakai, apakah masih sama atau tidak. Kejadian yang sama terulang lagi, Mita amat beruntung untuk yang kedua kalinya. Saat KTP Mita dicek oleh mereka, mereka menolak Mita dengan alasan, “Ada kesalahan pada sistem.”

Mita tertawa dan berkata, “Padahal mereka mengecek namaku sudah ada sebagai penerima bonus dari mereka. Tentu mereka tidak mau mengulangi metode yang sama lagi untuk yang kedua kalinya.”

Fathur – saudara Ratih yang lain mengecek harga alat akupunktur infra merah di internet, nyatanya harganya cuma sejuta lebih. Sepertinya total harga barang yang dibawa pulang pak dan bu Ramlan bernilai 5 juta lebih, bukannya 21 juta lebih. Istri Fathur pun pernah hampir mengalami peristiwa seperti yang dialami Mita di kota lain. Untungnya ia hanya kehilangan Rp. 100.000 sebagai uang muka dan ia tidak kembali menebus sisanya.

Ratih mengecek alamat website yang disebutkan pegawai klinik dan mendapati hanya satu kesamaan alat kesehatan yang dijual di website itu dan itu pun kursi pijat, bukannya alat kesehatan yang utama (alat akupunktur). Setelah meneliti baik-baik, Ratih berkesimpulan website itu bukanlah representasi dari klinik X.

Peristiwa ini menjadi pelajaran yang amat berharga bagi keluarga pak Ramlan. Kita pun bisa turut mengambil pelajaran sebagai berikut agar menjadi konsumen cerdas setiap ada penawaran yang saat ini datang dalam bermacam-macam bentuk dan amat menggiurkan:
  • Klinik X keukeh menelepon beberapa kali ke rumah keluarga pak Ramlan untuk membujuk. Padahal bila produk yang mereka jual memang bonafid taktik itu tak perlu dilakukan.
  • Hati-hati dengan iming-iming “gratis” dan “hadiah”.
  • Aneh bila harus sepasang suami istri yang diladeni. Kenapa tak bisa sepasang ibu dan anak? Kenapa pertanggungjawaban klinik X ke pusat harus menggunakan tanda tangan para pasangan suami istri? Ini taktik aneh dalam penjualan sebuah produk.
  • Pernyataan bahwa mereka tak bakalan mau menjual produk menjadi kontradikstif dengan adanya “alat utama” klinik (alat akupunktur infra merah itu) di undian hadiah.
  • “Karena sayangnya Ana sama Ibu sampai-sampai ia menelepon lagi” ucapan ini tak lazim digunakan oleh pegawai perusahaan bonafid.
  • Bu Ramlan terlalu banyak bercerita tentang keadaannya. Ini bisa makin meyakinkan orang untuk berbuat tak baik. Sepasang suami istri lanjut usia, dengan anak-anak yang sudah mapan, adalah sasaran empuk.
  • Bu Ramlan dan Ratih meyakinkan pak Ramlan dengan argumen yang keliru. Bukannya mencari tahu lebih banyak, malah memakai argumen dari klinik yang belum tentu benar.
  • Harga barang tidak dicek terlebih dulu padahal ada tipe barang yang tertera yang bisa dicek di internet. Barang utama yang “dijual” bisa saja memang bermanfaat tetapi orang jadinya terpaksa membeli barang-barang lain yang tidak dibutuhkan.
  • Reaksi para pegawai klinik yang bersorak itu aneh. Apa lagi sampai meminta hadiah kepada sepasang pensiunan ini. Keterlaluan malah!
  • Euforia seseorang benar-benar dimanfaatkan dalam hal ini. Apa lagi tenggat waktu yang mereka tetapkan amat singkat. Ini membuat siapa pun yang tadinya jeli menjadi sulit berpikir jernih dan logis.
  • Tanda tangan sudah digoreskan pak dan bu Ramlan di klinik X. Sulit untuk menuntut balik. Bisa-bisa mereka yang dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.
  • Juga sebuah keanehan, sebuah tempat yang menyatakan dirinya klinik hanya menggunakan alat-alat kesehatan seperti itu. Ini sebenarnya tidak meyakinkan, sepertinya amat jauh dari ukuran standar penyelenggaraan sebuah klinik.


Semoga kisah ini bisa bermanaaf bagi banyak orang karena taktik dagang seperti yang dikisahkan di sini banyak dipergunakan di negara kita. Semoga kita semua bisa menjadi konsumen yang cerdas dan tidak ditipu dengan taktik dagang seperti ini.

Makassar, 15 April 2013

Tulisan ini diikutkan Lomba Menulis & Kontes SEO 2013 – Konsumen Cerdas



Silakan juga dibaca:








[1] Telepon kabel


Share :

14 Komentar di "Terbuai Voucher dan Bonus Senilai Jutaan Rupiah"

  1. setuju, Mbak. Yang namanya gratis itu gak selalu 'gratis' malah kadang ngerugiin konsumen. Malah kl sy perhatiin perusahaan bonafid suka 'rada jual' mahal loh sm konsumennya. Cara membujuknya gak akan sp berkali2 gitu. Sbg konsumen kita memang hrs cerdas, ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak Chi. Akhirnya setelah sadar baru deh menyesal :)

      Delete
  2. suami pernah iseng meladeni penawaran hadiah gratis ini dgn maksud ingin tau knp byk org yg tertipu. Modusnya persis spt yg mbak Niar ceritakan, tp bkn atas nama klinik, produk alat kesehatan. Saya geli liat kelakuan suami yg pura2 seneng dgn hadiah utama yg mrk sorak soraikan. Dlm hati, kurang kerjaan amat sih nih. Tapi melihat bagaimana cara suami mengakhiri rayuan maut bbrp org itu membuat saya sadar, hal itulah yg sulit dilakukan org. Suami bs keluar dgn membawa jam tangan yg sjk semula mrk sebut gratis. Tanpa mengeluarkan apapun dr dompetnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, suami mbak Niken bisa mendapatkan jam yang benar2 gratis ya mbak. Modus ini memang sudah meraja lela ya. Ck Ck Ck

      Delete
  3. subhanalllaaahhh kasihan yang tertipu ya Mbak...
    penipuan jaman sekarang, macemnya luar biasa kreatif deh

    semoga kita selalu aware untuk hal hal sperti ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hiks iya mbak Elsa. Kalo mendapatkan modus seperti ini, hati2 yaa

      Delete
  4. semoga Allah segera membalas penipu penipu itu ya tante..

    ReplyDelete
  5. Kok kebetulan yah? Saya juga menerima telpon yg sama. Sy lupa siapa nama yg nelpon. Meminta saya ke klinik di Buakana. Apa benar kliniknya di Buakana?
    Dia berkali2 nelpon dan bikin saya bete'. Maksa saya ajak suami. Kalo tdk salah, dia minta sy dan suami dtg di hr minggu. Saya jelaskan bhw suami sdh kuliah kalo weekend dan klo hari kerja, saya yg susah tuk ke klinik mrk. Minggu pagi, org itu nelpon lagi tuk mengingatkan. Saya tetap menolak. Dia menawarkan hadiah+ penyuluhan kesehatan gratis, tp tdk menawarkan pengobatan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu nama samaran. Alamatnya? Hmm nanti saya kasih tahu ki'.
      Tuh modusnya sama kan? MEnelepon berkali2. Ck ck ck. Untung kita' dan suami bisa menghindar.

      Delete
  6. sebagai konsumen memang kita harus bijak dalam membeli barang-barang jagn sampai tertipu baik dari segi harga maupun kualitas

    ReplyDelete
  7. saking takutku ditipu..kuhindari semua sales ka yg di mall...

    ReplyDelete
  8. ini biasanya sering terjadi di mall mbak, saya waktu itu juga pernah mengalami hal serupa, di tawari kartu perdana ujung2nya di suruh ngambil undian dan ujung2nya di suruh mbayar berapa juta gitu ....

    Hahaha... Jaman sekarang orang memang kreatif mencari uang

    ReplyDelete
  9. mantab nih tipsnya.. mksi gan ane tunjuk ama orangtua ane biar gak gampang percayaan ma ginian..hehe

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^